Senin, 11 April 2011

Jenggot; Antara Sunnah Dan Bid’ah


Pendahuluan
Memanjangkan jenggot/janggut seolah-olah telah menjadi trend atau ciri has bagi kelompok-kelompok islam tertentu, antara lain; Jamaah tabligh, tariqat Tasawuf, Salafi, serta kelompok-kelompok islam radikal/ teroris seperti al-Qaedah dan Jamaah Islamiah, bahkan ada diantara mereka (dengan berdalil pada apa yang menjadi kebiasaan Abdullah bin Umar r.a.) ada yang mewajibkan memanjangkan jenggot dengan batas minimal satu kepal, artinya; jika si pemilik jenggot menggenggam jenggotnya maka dia hanya dibolehkan memotong yang melebihi genggaman tangannya sedangkan lebih pendek dari itu maka haram hukumnya.

Benarkah memanjangkan jenggot merupakan kewajiban untuk setiap muslim lelaki, apakah hukumnya bagi lelaki muslim yang tidak memanjangkan jenggot ? untuk mengetahui jawaban yang benar maka kita merujuk pada dalil-dalil yang shahih.
Mereka yang “mewajibkan jenggot” menyandarkan keyakinannya pada dalil di bawah ini dan yang sejenisnya;

عَنِ ‏ابْنِ عُمَرَ ‏عَنِ النَّبِيِّ ‏صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ‏قَالَ‏ خَالِفُوا الْمُشْرِكِينَ وَفِّرُوا اللِّحَى وَأَحْفُوا الشَّوَارِبَ وَكَانَ ‏ابْنُ عُمَرَ‏ ‏إِذَا حَجَّ أَوِ اعْتَمَرَ قَبَضَ عَلَى لِحْيَتِهِ فَمَا فَضَلَ أَخَذَهُ. رواه البخاري: كتاب اللباس

Dari Ibnu Umar, dari Nabi s.a.w. beliau bersabda; selisihilah orang-orang musyrik; panjangkanlah jenggot dan potonglah kumis, dan ibnu Umar ketika haji atau umrah menggenggam jenggotnya kemudian dia potong jenggot yang lebih (dari kepalan tangannya). HR. al-Bukhari K. Libas

Jika kita perhatikan pada perintah Nabi di atas menggunakan kaidah ilmu ushul fiqh; maka kita jumpai adanya illat (sesuatu yang menjadi sebab/syarat) bagi perintah memanjangkan jenggot tersebut, yaitu; selisihilah orang-orang musrik. Sedangkan trend/kebiasaan orang-orang musyrik di zaman Rasulullah s.a.w. sangat berbeda dengan orang musyrik di zaman sekarang.
Di zaman Nabi s.a.w. musyrik yang dimaksud adalah orang-orang kafir Qurais dan orang-orang majusi yang pada waktu itu trendnya tidak memanjangkan jenggot, akan tetapi umat Islam saat ini menghadapi jenis orang musyrik lebih kompleks dengan bermacam-macam trend, bahkan untuk saat ini memanjangkan jenggot justru bisa menyamai orang musyrik, sebab diantara mereka juga ada yang “mewajibkan” jenggot diantaranya; yahudi orthodox, kaum sing/sikh, penganut konghucu dan lain-lain.
Antara Jenggot Dengan Keberagaman Manusia
Islam adalah agama “rahmatan lil alamin”, dan Nabi Muhammad s.a.w. di utus untuk semua umat manusia yang beraneka ragam keadaannya; warna kulit, bentuk badan juga jumlah rambut yang tumbuh di tubuh (ada yang lebat dan ada yang jarang-jarang) dan lain-lain, Allah s.w.t. tidak memaksakan manusia harus seragam/sama dalam semua hal dengan orang Arab tempat asal Rasulullah s.a.w.; dimana orang lelaki Arab secara alami/natural pada umumnya di sekitar wajahnya tumbuh rambut/jenggot tebal sehingga memang sesuai untuk memanjangkan jenggot, hal ini berbeda dengan sebagian besar kaum lelaki bangsa melayu yang wajahnya cenderung jarang ditumbuhi rambut sehingga kurang sesuai untuk memanjangkan jenggot sebab terkadang yang tumbuh hanya dua tiga helai jenggot saja. Allah s.w.t. menghendaki dan mewajibkan keseragaman manusia hanya dalam urusan aqidah Dinul Islam, sedangkan di luar itu Allah sebagai sang Khaliq mengakui dan memberi kebebasan atas keberagaman manusia dengan firmanNya;


يأَيُّهَا النَّاسُ إِنَّا خَلَقْنَاكُم مِّن ذَكَرٍ وَأُنْثَى وَجَعَلْنَاكُمْ شُعُوباً وَقَبَآئِلَ لِتَعَارَفُواْ إِنَّ أَكْرَمَكُمْ عِنْدَ اللهِ أَتْقَاكُمْ إِنَّ اللهَ عَلِيمٌ خَبِيرٌ. سورة الحجرات ١٣

Wahai umat manusia! Sesungguhnya Kami telah menciptakan kamu dari lelaki dan perempuan, dan Kami telah menjadikan kamu berbagai bangsa dan bersuku puak, supaya kamu berta’aruf (berkenal-kenalan dan saling memahami atas perbedaan masing-masing). Sesungguhnya semulia-mulia kamu di sisi Allah ialah orang yang lebih taqwa di antara kamu, (bukan yang lebih keturunan atau bangsanya). Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui, lagi Maha Mendalam PengetahuanNya (akan keadaan dan amalan kamu). QS al-Hujurat 13
Mereka (yang menganggap wajib) mengatakan; Nabi s.a.w telah perintah dan sesuatu kalau sudah menjadi perintah Nabi berarti hukumnya adalah wajib, benarkah demikian ? jawabnya; tidak semua dalil dalam al-Qur’an dan al-Hadits yang berbentuk perintah itu berarti wajib.
Sudah menjadi kesepakatan ulama’ bahwa; kalimat dalam al-Qur’an yang berbentuk fiil amr (perintah) terbagi menjadi dua; amr lilwajib perintah yang wajib dikerjakan, dan satu lagi amr lil ibah/mubah; perintah tapi maksudnya adalah untuk membolehkan
Amr wajib adalah perintah yang jika ditaati akan diganjar dengan surga sebaliknya jika tidak ditaati maka ancamannya adalah neraka, sedangkan amr mubah hanya untuk membolehkan suatu perbuatan sebagai solusi dari Allah atas perkara yang dianggap belum jelas kedudukan hukumnya seperti perintah agar selepas shalat jumat semua agar bubar dan mencari rizki;

فَإِذَا قُضِيَتِ الصَّلاَةُ فَانتَشِرُواْ فِي الأَرْضِ وَابْتَغُواْ مِن فَضْلِ اللهِ وَاذْكُرُواْ اللهَ كَثِيراً لَّعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ. سورة الجمعة ١٠
Kemudian setelah selesai sembahyang, maka bertebaranlah kamu di muka bumi dan carilah dari keutamaan Allah (rizki), serta ingatlah akan Allah banyak-banyak (dalam segala keadaan), supaya kamu berjaya (di dunia dan di akhirat). QS. Al-Hujurat; 11

Jika kita terpaku dengan kata fantasyiru (maka menyebarlah) dengan kaidah wajibnya jenggot maka tentu orang yang setelah shalat jumat hanya berdiam di masjid atau tidur di rumah atau apapun yang dilakukan selain menyebar dimuka bumi mencari rizki berarti mereka semua itu telah berdosa sebab telah melanggar/tidak taat terhadap perintah Allah. Atau kalau kita memamami firman Allah surat an-Nisa ayat 3 dengan “konsep jenggot” maka orang lelaki yang tidak berpoligami (menikah lebih dari satu istri) juga berdosa karena ayat tersebut berbunyi;

فَانكِحُواْ مَا طَابَ لَكُمْ مِّنَ النِّسَآءِ مَثْنَى وَثُلاَثَ وَرُبَاعَ. سورة النساء ٣
Maka berkahwinlah dengan sesiapa yang kamu berkenan dari perempuan-perempuan ; dua, tiga atau empat. QS. An-Nisa’; 3
Dalam tinjauan ilmu fiqh; sesuatu yang fardhu (wajib) itu sendiri masih terbagi dalam dua jenis, yaitu; fardu ain; kewajiban untuk semua umat islam yang telah balligh, dan fardu kifayah; kewajiban yang apabila salah satu dari umat islam telah mengerjakannya maka yang lain sudah tidak berkewajiban, contohnya kewajiban mengurusi jenazah sebenarnya adalah kewajiban orang islam terhadap saudaranya, nabi bersabda;

‏(عَنْ) ‏‏أَبِي هُرَيْرَةَ ‏‏رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ ‏سَمِعْتُ رَسُولَ اللهِ ‏صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ‏يَقُولُ حَقُّ الْمُسْلِمِ عَلَى الْمُسْلِمِ خَمْسٌ رَدُّ السَّلاَمِ وَعِيَادَةُ الْمَرِيضِ وَاتِّبَاعُ الْجَنَائِزِ وَإِجَابَةُ الدَّعْوَةِ وَتَشْمِيتُ الْعَاطِسِ. رواه البخاري: كتاب الجنائز

Abu Hurairah berkata; aku dengar Rasulullah s.a.w. bersabda kewajiban orang Islam terhadap orang Islam (yang lain) ada lima perkara; menjawab salam, menjenguk orang sakit, mengantar jenazah, mendatangi undangan dan mendoakan orang yang bersin. HR. al-Bukhari; K. Janaiz

Walaupun pada Hadits di atas Nabi bersabda kewajiban orang islam yang satu terhadap orang Islam yang lain akan tetapi bukan berarti bahwa orang yang tidak pergi mengantar jenazah sesama orang Islam dia telah berdosa, sebab kedudukan mengantar jenazah adalah fardhu kifayah, yang artinya; jika sudah ada yang melakukannya maka yang lain telah gugur kewajibannya.

Kesimpulan
Perbuatan memanjangkan jenggot bisa termasuk amal sunnah jika dilakukan dengan niat ingin itba’ sunnah Rasulullah s.a.w. (khususnya dalam masalah jenggot), dan memotong jenggot/tidak memanjangkan jenggot bukan dosa yang tercela, akan tetapi mewajibkannya adalah bid’ah yang diada-adakan, sebab Rasulullah s.a.w. tidak mewajibkannya, sebagai bukti, bahwa tidak ada dalil yang menjelaskan secara spesifik; pahala memanjangkan jenggot dan dosa atau azab bagi yang memotong atau tidak memanjangkan jenggot.
Ingatlah, bahwa; mewajibkan sesuatu yang Allah dan Rasulullah s.a.w. tidak mewajibkannya maka berarti membuat bid’ah yang sesat dalam Islam, sabda Rasulullah s.a.w.

إِنَّ أَصْدَقَ الْحَدِيثِ كِتَابُ اللهِ وَأَحْسَنَ الْهَدْيِ هَدْيُ ‏‏مُحَمَّدٍ ‏وَشَرُّ الأُمُورِ ‏مُحْدَثَاتُهَا ‏‏وَكُلُّ مُحْدَثَةٍ بِدْعَةٌ وَكُلُّ بِدْعَةٍ ضَلالَةٌ وَكُلُّ ضَلالَةٍ فِي النَّارِ. رواه النسائي: كتاب صلاة العيدين
Sesungguhnya sebenar-benarnya cerita adalah kitab Allah (al-Qur’an) dan sebenar-benarnya tauladan adalah tauladan Muhammad s.a.w. dan sejelek-jeleknya perkara adalah perkara yang baru, dan setiap perkara yang baru adalah bid’ah dan setiap yang bid’ah adalah sesat dan setiap yang sesat adalah ke neraka. HR. an-Nasai; K. shalatul Idaian

By Ihsan Muhyiddin

Tidak ada komentar: