Kamis, 29 Juli 2010

Alangkah Mulia dan Berharganya Ibu Rumah Tangga



Usai menunaikan shalat magrib berjamaah dan berzikir di masjid samping kontrakannya, mubaleg yang aktif itu tampak merenung cukup lama. Ia tampak kelelahan setelah seharian bekerja di rumahnya karena ’ditinggal’ istrinya yang mengikuti kegiatan pengajian Ibu-ibu dari pagi hingga siang hari. Sebagai mubaleg, tentu ia bukannya tidak paham betapa beratnya beban seorang istri sekaligus ibu rumah tangga. Namun, dengan menjalani sendiri seluruh pekerjaan rumah tangga hari itu, mulai dari memasak air, menyapu rumah dan halaman, mencuci piring/gelas dan pakaian, memasak dan menyediakan makan bagi anak-anaknya, memandikan mereka, mengantar mereka ke sekolah sekaligus mendampinginya (karena ada yang duduk di TK), mengasuh mereka sekaligus menenangkan mereka jika sesekali menangis dan rewel, melerai mereka saat mereka bertengkar dll, benar-benar pekerjaan yang amat menguras energi. Itu baru satu hari dan itu pun tidak sampai sehari penuh. Bagaimana kalau harus tiap hari ? Bisa-bisa stres! Karena itu, mubaleg itupun makin menyadari betapa tanpa kehadiran istri, mengurus rumah tangga dengan keempat anaknya yang masih kecil-kecil itu ternyata tak seenteng yang ia bayangkan.

Sejak itu ia pun mulai menyadari, betapa ia kadang egois. Sebagai suami dan kepala rumah tangga ia merasa yang paling capek karena mencari nafkah, mengajar, mengurus jamaah, dll. Ia merasa, dirinyalah yang paling sibuk sehingga sedikit saja istri kurang dalam hal pelayanan kepadanya, entah karena dianggap lamban, atau rumahnya sedikit berantakan, atau masakannya sedikit kurang enak, dll, ia gampang mengeluh, bahkan mencela.

Kini, di tengah-tengah perenungannya, ia pun amat menyesal. Tak terasa, air matanya menetes membasahi pipinya. Usai salat magrib itu, ia menyadari betapa ia sering berbuat tidak adil terhadap istrinya. Sejak itu, ia mulai bersikap sabar dan tak mengeluh lagi jika dalam pandangannya istrinya kurang dalam melayani dirinya atau mengurus rumah tangganya.

Seorang suami memang pantas untuk menghargai, menghormati, memuliakan dan menyayangi istrinya betapapun dalam pandangannya, istrinya itu banyak kekurangannya. Sebab, jika pun ukurannya dikembalikan pada standar materi, pekerjaan menjadi seorang istri/ibu rumah tangga sesungguhnya amat mahal.

Disisi waktu jelas sangat menyita banyak waktu dari pagi hingga pagi lagi tak henti-hentinya menyiapkan segala sesuatunya baik untuk anak-anak dan suaminya.

Dari sisi materi juga tak terhitung banyaknya, disebutkan di salah satu website bahwa setelah dilakukan survei kepada 18.000 ibu rumah tangga di Toronto, Kanada, mengenai daftar pekerjaan rumah tangga mereka sehari-hari (seperti memasak, membersihkan rumah, merawat anak, mengurus keluarga, dan sebagainya), sebuah perusahaan standar penggajian mendeskripsikan nilai, harga dan gaji yang pantas atas “pekerjaan” para ibu rumah tangga ini bila mereka digaji. Di Kanada, dari sekian banyak tugas dan pekerjaan domestik, seorang ibu rumah tangga jika digaji secara layak pendapatan perbulannya bisa mencapai $ 124.000. Jumlah itu setara dengan Rp 1.116.000.000,- (satu miliar seratus enam belas juta rupiah). Ini bila kurs $1= Rp 9.000,- saja.

Karena itu, “Sebuah kesalahpahaman yang sangat jamak jika pilihan seorang wanita untuk menjadi seorang ibu rumah tangga dianggap lebih mudah dan lebih ringan daripada menjadi seorang wanita karir,”.

Jika sebesar itu nilai “profesi” sebagai seorang ibu rumah tangga, maka secara berseloroh kita bisa mengatakan, betapa tidak cerdasnya seorang istri/ibu sampai rela mengorbankan urusan keluarga/ rumah tangganya hanya karena sibuk bekerja dengan gaji yang tentu tidak seberapa dibandingkan dengan nominal di atas. Lebih tidak cerdas lagi jika seorang suami menganggap rendah istrinya, tidak mau menghargai dan memuliakan istrinya, hanya karena ia banyak di rumah sekadar menjalani “profesi”nya sebagai ibu rumah tangga.

Itu dari sisi materi. Bagaimana jika dilihat dari kacamata Islam? Dalam pandangan Islam, seorang ibu rumah tangga bertanggung jawab penuh atas seluruh urusan keluarga/rumahtangganya karena posisinya sebagai umm[un] wa trabbah al-bayt (ibu sekaligus manajer rumah tangga). Ia jugalah yang bertanggung jawab atas perawatan dan pendidikan anak-anaknya. Seorang penyair Arab mengatakan, ”Al-Ummu Madrasah al-Ula, Idza A’dadtaha A’dadta Sya’ban Khayr al-‘Irq” (Seorang ibu adalah sekolah pertama bagi anaknya. Jika engkau mempersiapkan ia dengan baik maka sama halnya dengan engkau mempersiapkan bangsa berakar kebaikan).

Lebih dari itu, betapa mulia dan terhormatnya kedudukan seorang istri/ibu rumah tangga tergambar dalam hadis dari Anas ra. : Kaum wanita pernah datang menghadap Rasulullah saw. Mereka bertanya, ”Ya Rasulullah, kaum pria telah pergi dengan keutamaan dan jihad di jalan Allah. Adakah amal perbuatan untuk kami yang dapat menyamai amal para mujahidin di jalan Allah ?” Rasulullah saw. menjawab, “Siapa saja di antara kalian berdiam diri di rumahnya (melayani suaminya, mendidik anak-anaknya dan mengurus rumah tangganya), sesungguhnya ia telah menyamai amal para mujahidin di jalan Allah.” (Al Hadits).

Karena itu, tak ada alasan bagi para suami, untuk tidak memuliakan dan menyayangi istrinya dengan setulus hati.

Semoga Allah paring manfaat dan barokah bagi kita semua.

Rabu, 07 Juli 2010

BERBUAT BAIK KEPADA KEDUA ORANG TUA (Birrul Walidain)



Selain kita diwajibkan untuk taat kepada Allah dan Rosul. Kita juga diwajibkan untuk berbuat baik kepada kedua orang tua kita.

Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:

وا عبدوا الله ولأ تشر كوا به شيئا وبااولدين احسنا

"Sembahlah Allah dan janganlah kamu mempersekutukan-Nya dengan sesuatupun. Dan berbuat baiklah kepada kedua orang tua ... "(an-Nisâ`ayat 36).

Begitu pula Allah Subhanahu wa Ta'ala telah berfirman dalam surat Luqmân ayat 14:

وو صينا الأنسن بو لد يه

"(Dan Kami perintahkan kepada manusia (berbuat baik) kepada kedua orang tua, ...)"

Selanjutnya Allah menyebutkan alasan perintah ini, yaitu:

حملته أمه وهنا على وهن

"(ibunya telah mengandungnya dalam keadaan lemah yang bertambah- tambah)".

Yakni keadaan lemah dan berat ketika mengandung, melahirkan, mengasuh dan menyusuinya sebelum kemudian menyapihnya.

Kemudian Allah berfirman:

وفصله فى عا مين أن اشكر لى ولو لد يك الى المصير

"(dan menyapihnya dalam dua tahun. Bersyukurlah kepadaku dan kepada ke dua orang tuamu. Hanya kepada-Kulah kembalimu)".

Nabi telah menjadikan bakti kepada orang tua lebih diutamakan daripada berjihad di jalan Allah. Disebutkan dalam shahîhaian dari 'Abdullâh bin Mas'ûd, ia berkata:

سَأَلْتُ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَيُّ الْعَمَلِ أَحَبُّ إِلَى اللَّهِ قَالَ الصَّلَاةُ عَلَى وَقْتِهَا قَالَ ثُمَّ أَيٌّ قَالَ بِرُّ الْوَالِدَيْنِ قَالَ ثُمَّ أَيٌّ قَالَ الْجِهَادُ فِي سَبِيلِ اللَّهِ

"Aku bertanya kepada Nabi; "Amalan apakah yang paling utama?" Beliau menjawab,"Shalat pada waktunya." Aku bertanya lagi: "Kemudian apa lagi?" Beliau menjawab,”Berbakti kepada kedua orang tua.” Aku bertanya lagi: ”Kemudian apa lagi?” Beliau menjawab,”Berjihad di jalan Allah.”

Allah Subhanhu wa Ta'ala juga telah berwasiat supaya berbuat baik kepada kedua orang tua di dunia walaupun keduanya kafir. Akan tetapi, apabila keduanya menyuruh untuk berbuat kufur maka seorang anak tidak boleh mentaati perintah kufur ini. Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman yang artinya :

"Dan jika keduanya memaksamu untuk mempersekutukan dengan Aku sesuatu yang tidak ada pengetahuanmu tentang itu, maka janganlah kamu mengikuti keduanya, dan pergaulilah keduanya di dunia dengan baik, dan ikutilah jalan orang yang kembali kepada-Ku, kemudian hanya kepada-Kulah kembalimu, maka Kuberitakan kepadamu apa yang telah kamu kerjakan".(Luqmân :15).

Cara berbakti kepada kedua orang tua, ialah dengan mencurahkan kebaikan, baik dengan perkataan maupun dengan perbuatan.

Berbuat baik dengan perkataan, yaitu kita bertutur kata kepada keduanya dengan lemah lembut, menggunakan kata-kata yang baik dan menunjukan penghormatan/mengagungkan.

Berbuat baik dengan perbuatan, yaitu melayani keduanya untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhannya, membantu dan mempermudah urusan-urusan keduanya. Tentu, tanpa membahayakan agama ataupun dunia kita.

Berbakti kepada kedua orang tua yang telah Iman tidak hanya dilakukan tatkala keduanya masih hidup. Namun tetap dilakukan manakala keduanya telah meninggal dunia. Ada sebuah kisah, yaitu seseorang dari Bani Salamah mendatangi Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam. Ia bertanya:

يَا رَسُولَ اللَّهِ هَلْ بَقِيَ مِنْ بِرِّ أَبَوَيَّ شَيْءٌ أَبَرُّهُمَا بِهِ بَعْدَ مَوْتِهِمَا قَالَ نَعَمْ الصَّلَاةُ عَلَيْهِمَا وَالِاسْتِغْفَارُ لَهُمَا وَإِنْفَاذُ عَهْدِهِمَا مِنْ بَعْدِهِمَا وَصِلَةُ الرَّحِمِ الَّتِي لَا تُوصَلُ إِلَّا بِهِمَا وَإِكْرَامُ صَدِيقِهِمَا

"Wahai Rasulullah, apakah masih ada cara berbakti kepada kedua orang tuaku setelah keduanya meninggal?" Beliau menjawab,"Ya, dengan mendoakannya, memintakan ampun untuknya, melaksanakan janjinya (wasiat), menyambung silaturahmi yang tidak bisa disambung kecuali melalui jalan mereka berdua, dan memuliakan teman-temannya". [HR Abu Dawud].

Dalam kitab Shahîh al-Bukhâri dan Shahîh Muslim, dari hadits Ibnu 'Umar Radhiyallahu 'anhu disebutkan tentang kisah tiga orang yang ingin bermalam di gua, lalu merekapun masuk ke dalamnya. Begitu sampai di dalam gua, tiba-tiba sebongkah batu besar jatuh dan menutup mulut gua tersebut.

Merekapun kemudian bertawasul kepada Allah dengan amal-amal shalih yang pernah dikerjakan supaya mereka bisa keluar. Salah seorang dari mereka berkata :

Ya Allah, sesungguhnya aku mempunyai bapak dan ibu yang sudah sangat tua. Aku tidak pernah memberikan susu kepada keluarga maupun budakku sebelum mereka berdua.

Suatu hari, aku pergi jauh untuk mencari pohon dan belum kembali kepada mereka hingga mereka pun tertidur. Akupun memerah susu untuk mereka. Setelah selesai, ternyata aku mendapatkan mereka berdua telah tertidur. Aku tidak ingin membangunkannya dan tidak memberikan susu kepada keluarga maupun untukku sendiri. Aku terus menunggu mereka sambil membawa mangkuk susu di tanganku hingga terbit fajar. Mereka pun bangun dan meminum susu perahanku.

Ya Allah, sekiranya aku melakukan itu semua karena-Mu, maka bukakanlah batu yang telah menutupi kami ini.

Maka batu itupun bergeser sedikit. Kemudian demikian pula yang lainnya berdoa, bertawasul dengan amalan shalih yang pernah mereka kerjakan. Akhirnya, batu itupun bergeser sehingga gua terbuka dan mereka dapat keluar, kemudian kembali melanjutkan perjalanan.

Sebagai seorang anak sungguh sangat tidak pantas berbuat durhaka dan memutuskan hubungan dengan kedua orang tua, padahal ia mengetahui keutamaan berbakti kepadanya, dan balasannya yang mulia di dunia maupun di akhirat. Larangan ini sangat besar.

Apabila telah mencapai usia lanjut, kedua orang tua akan mengalami kelemahan fisik maupun pikiran. Bahkan keduanya bisa mengalami kondisi yang serba menyusahkan, sehingga menyebabkan seseorang mudah menggertak atau bersikap malas untuk melayaninya. Dalam keadaan demikian, Allah melarang setiap anak membentak, meskipun dengan ungkapan yang paling ringan. Tetapi Allah memerintahkan si anak supaya bertutur kata yang baik, merendahkan diri dalam perkataan maupun perbuatan di hadapan keduanya. Demikian pula, Allah memerintahkan si anak supaya mendoakan keduanya, semoga Allah mengasihi keduanya sebagaimana keduanya telah mengasihi dan merawat si anak tatkala masih kecil.

Sang ibu rela berjaga saat malam hari demi menidurkan anaknya. Iapun rela menahan rasa letih supaya si anak bisa beristirahat dengan cukup. Adapun bapaknya, ia berusaha sekuat tenaga mencari nafkah. Letih pikirannya, letih pula badannya. Semua itu, tidak lain ialah untuk memberi makan dan mencukupi kebutuhan si anak. Sehingga sepantasnya bagi si anak untuk berbakti kepada keduanya sebagai balasan atas kebaikannya.

Dari Abu Hurairah, bahwasanya ada seorang laki-laki bertanya kepada Nabi: "Wahai Rasulullah, siapakah di antara manusia yang paling berhak aku pergauli dengan baik?" Rasulullah menjawab,"Ibumu." Orang itu bertanya lagi: "Kemudian siapa lagi?" Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam menjawab: "Ibumu." Orang itu mengulangi pertanyaannya: "Kemudian siapa lagi?" Nabi pun kembali mengulangi jawabanya: "Ibumu." Iapun kemudian mengulangi pertanyaanya untuk yang ke empat kalinya: "Kemudian siapa?" Rasulullah menjawab: "Bapakmu."

Semoga Allah paring manfaaat dan barokah.