Senin, 25 Oktober 2010

Menyikapi Konflik Rumah Tangga II


Beberapa point berikut mungkin bisa berguna,

Tahan amarah

Sebel, kecewa, dan marah, adalah contoh bentuk-bentuk penyaluran emosi. Marah tidaklah dilarang, apalagi kalau dikarenakan alasan yang tepat, di tempat yang tepat, pada waktu/moment yang tepat, kepada orang yang tepat, dan dengan kadar yang proporsional.

Emosi itu memang harus disalurkan, namun terkadang, ada beberapa cara-cara lain yang lebih baik ketimbang menyalurkannya lewat kemarahan.

Seorang sahabat berkata kepada Nabi Saw, "Ya Rasulullah, berpesanlah kepadaku." Nabi Saw berpesan, "Jangan suka marah (emosi)." Sahabat itu bertanya berulang-ulang dan Nabi Saw tetap berulang kali berpesan, "Jangan suka marah." (HR. Bukhari)

Beberapa cara yang bisa dilakukan untuk mengurangi amarah yaitu berpindah tempat (misal dari duduk kepada berdiri), mengambil air wudhu, dan membaca ta’awudz (audzubillahiminassyaitannirrajim).

Menahan amarah ini tidaklah mudah, karenanya Rasulullah SAW berkata,

“Orang kuat itu bukanlah orang yang menang bergulat, tetapi orang kuat ialah orang yang dapat menahan dirinya ketika marah.” (Muttafaq Alaihi.)

Jangan mengambil keputusan bila sedang emosi

Bila seorang dari kamu sedang marah hendaklah diam. (HR. Ahmad)

Kita tentu tidak ingin menyesali suatu keputusan yang dihasilkan dalam kondisi yang penuh emosi, karena pada saat ini, akal pikiran kita tidak berfungsi sebagaimana mestinya. Dengan dalil itu pula, ada beberapa ulama yang menyatakan tidak sah talak seorang suami dalam keadaan marah.

Tenangkan diri terlebih dahulu, jernihkan pikiran, dinginkan kepala, agar keputusan yang diambil tidak menjadi sesalan di kemudian hari.

Koreksi diri

Jangan mudah menyalahkan pihak lain, coba koreksi diri sendiri, bisa jadi, konflik yang terjadi diakibatkan oleh peran serta kita di dalamnya.

Berikan nasehat yang baik

Demi masa. Sesungguhnya manusia itu benar-benar berada dalam kerugian, kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh dan nasihat menasihati supaya menaati kebenaran dan nasihat menasihati supaya menetapi kesabaran. (QS. Al-'Asyr: 1-3)

Surat di atas berbicara tentang hubungan interaksi dengan semua muslim, termasuk juga untuk pasangan kita.

Jika ada kelalaian/kekhilafan/kesalahan, akan lebih indah kalau teguran yang keluar berupa nasehat yang baik, dengan kata-kata yang baik, dan dengan cara-cara yang baik.

Jika terpaksa harus mempergunakan kekerasan

Wanita-wanita yang kamu khawatirkan nusyuznya, maka nasihatilah mereka dan pisahkanlah mereka di tempat tidur mereka, dan pukullah mereka. Kemudian jika mereka menaatimu, maka janganlah kamu mencari-cari jalan untuk menyusahkannya. Sesungguhnya Allah Maha Tinggi lagi Maha Besar. (QS. An-Nisaa': 34)

Pada taraf konfik yang berat, dan sulit untuk diselesaikan, terkadang konflik bisa diselesaikan dengan ketegasan.

Ada tahapan-tahapan yang harus dijalankan, nasihati terlebih dahulu, setelah tidak bisa, lakukan pisah ranjang (namun masih di dalam satu rumah yang sama), jika masih tidak memungkinkan, pukullah, dengan pukulan yang tidak meninggalkan bekas dan tidak di wajah.

Satu-satunya contoh hukuman dengan kekerasan yang pernah saya baca dari Nabi yaitu ketika Nabi Ayub AS harus melaksanakan sumpahnya untuk memukul istrinya 100 kali, namun itu juga dengan mempergunakan rumput, yang pastinya tidak akan seberapa sakit.

Dan ambillah dengan tanganmu seikat (rumput), maka pukullah dengan itu dan janganlah kamu melanggar sumpah. Sesungguhnya Kami dapati dia (Ayub) seorang yang sabar. Dialah sebaik-baik hamba. Sesungguhnya dia amat taat (kepada Tuhannya). (QS. Shaad:44)

Pihak ketiga

Dan jika kamu khawatirkan ada persengketaan antara keduanya, maka kirimlah seorang hakam dari keluarga laki-laki dan seorang hakam dari keluarga perempuan. Jika kedua orang hakam itu bermaksud mengadakan perbaikan, niscaya Allah memberi taufik kepada suami-istri itu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal. (QS. An-Nisaa': 35)

Jika memang dirasa perlu, libatkan pihak ketiga yang bisa menjadi mediator, fasilitator, bisa berupa pihak keluarga maupun dari orang yang dituakan.

Jangan libatkan anak dalam pertikaian

Jangan membuat blok dalam rumah tangga, dengan mencari pendukung atau sekutu dalam pertikaian yang terjadi antar pasangan.

Seorang anak bisa jadi sudah mengalami kebingungan sendiri dengan konflik yang dialami orangtuanya, cukuplah sampai disitu saja beban yang dialaminya.

Jika terpaksa perceraian harus terjadi

Jika tidak ada jalan lain yang bisa ditempuh, dan harus diambil solusi terburuk berupa perceraian, pastikan agar dilakukan dengan cara yang baik. Pernikahan diawali dengan hal yang baik, maka sudah sepatutnya pula diakhiri dengan cara yang baik.

Beberapa hal penting yang harus menjadi perhatian selama proses perceraian seperti sebagai berikut :

Talak tidak boleh dilakukan pada waktu pihak wanita berada dalam masa haid atau nifas, talak baru dikatakan sah jika pihak wanita dalam keadaan bersih.

Ada masa iddah pasca talak, masa iddah adalah waktu jeda dengan rentang waktu tiga kali bersuci dari haid, sehingga jelas tidak ada benih dari suami di dalam rahim istri. Dan selama masa iddah ini, sang istri harus tetap berada satu rumah dengan suami, dan dalam waktu iddah ini pula, kedua belah pasangan boleh rujuk tanpa memerlukan pernikahan ulang kembali.

Jika telah memiliki anak, dengan adanya perceraian, korban terbesar adalah sang anak. Jangan abaikan hak-haknya, dan bantu dia melalui krisis perceraian kedua orangtuanya.

Jaga perasaan orangtua dan mertua juga sangat mungkin mengalami masa-masa sulit dengan perceraian yang dialami anaknya. Perhatikan pula hal ini!

Bertaubat dengan taubatan Nasuha

Tidak ada manusia yang sempurna, pasti ada kesalahan atau kelalaian yang mungkin saja terjadi.

Bagi pihak yang merasa bersalah, lakukanlah syarat-syarat taubat. Tinggalkan perbuatan dosa/kesalahan tersebut, menyesalinya, kapok, getun dan tidak akan mengulangi lagi dan melaksanakan kafaroh serta memperbanyak sodakoh untuk pulihan.


Semoga manfaat dan barokah.

Tidak ada komentar: