Senin, 18 Mei 2009

CELOTEH : TELEVISI



Dari kurang - lebih 14 KK di sekitar rumah saya, semuanya punya TV. Tak satu pun keluarga yang hidup tanpa kotak ajaib itu. Hebat kan? Padahal semua sudah tahu, TV termasuk benda yang kontra produktif. Alat lahan (lahwun). Para penasehat malah menyebut lebih tegas lagi sebagai terminal lahan. Merujuk sebagai benda yang banyak menyajikan suguhan yang tidak bermanfaat daripada yang bermanfaat. Wasting time, useless dan mengosongkan diri dari pahala dan memubadzirkan waktu untuk cari pahala. Lebih banyak berisikan kemudhorotan dari pada kemanfaatan. Lebih pas disebut pusat tukar perlahanan. Tapi masih saja banyak yang berdalih; ”hiburan,” katanya. Okelah..., kalau berbagai alasan itu yang masih mempertimbangkan kita punya TV. Mudah – mudahan alasan berikut ini bisa menjadikan kita lebih berhati – hati dengan kotak ajaib itu (TV). Setidaknya punya sense, perhatian dan respon lain terhadap TV, terutama terkait dengan penjagaan keimanan, dimana informasi (baca TV) adalah sumber nutrisi ’makanan’ hati dan pikiran.

Dari ’Urs bin Amirah al-Kindi ra, bahwasanya Nabi SAW bersabda, ”Apabila dosa dilakukan di bumi, maka siapa yang menyaksikannya dan membencinya, - didalam riwayat lain disebutkan, lalu dia mengingkarinya – adalah seperti orang yang tidak menyaksikannya. Dan barangsiapa yang tidak menyaksikannya, namun ia merestuinya, maka ia seperti orang yang menyaksikannya.” (Rowahu Abu Dawud)

Cobalah resapi dan baca dengan teliti hadits di atas. Pelan – pelan. Sekali lagi. Kata demi kata. Nah, setelah memahaminya, tentu kita akan berpikir ulang untuk mengunduh acara – acara TV setiap hari. Setidaknya selektif, pilih yang baik saja. Juga kita akan menghimbau (amar ma’ruf) agar keluarga kita juga, setidaknya, untuk mengurangi frekuensi nontonnya.

Selain banyak acara TV yang meracuni pikiran dan alam bawah sadar kita, kebanyakan acaranya adalah ’sampah’ buat kepribadian kita. Coba perhatikan acara infotainment dari pagi, siang, sore seperti insert, waswas, dll. Itu adalah tergolong acara ngrasani. Perhatikan sinetron – sinetronnya, itu adalah kepalsuan dan kebohongan. Pelecehan, asusila dan pembodohan. Reality shownya banyak mengumbar penghinaan, walau ada juga yang baik. Tapi sedikit. Perhatikan acara empat mata/bukan empat mata. Apa yang bikin penonton ketawa? Lawakannya atau komentar komedian Tukul yang suka merendahkan makhluk Tuhan dan berbuat di luar adat ketimuran? Kemudian perhatikan acara kriminalnya? Semakin hari modus operandi pemotongan mayat selalu bertambah dan semakin canggih. Tadinya dipotong tiga, kemudian dipotong tujuh dan selanjutnya dipotong belasan. Ada ekskalasi. Karena secara tidak sadar orang merekam kejadian tersebut. Tatkala kondisi kalut maka muncullah dalam wacana mereka untuk melakukan dengan lebih sadis lagi. Toh sudah ada contohnya.

Kata kunci dalam memahami hadits di atas adalah menyaksikan. Ketika kita melihat suatu kejadian dosa di muka bumi ini, kemudian kita tidak pasang stelan hati untuk membencinya, mengingkarinya berarti kita berada di dalamnya. Hadits ini terkait dengan kewajiban amar – ma’ruf. Padahal kita semua faham bahwa jika kita melihat kemungkaran, maka wajib hukumnya bagi kita untuk merubahnya. Pertama dengan tangan, lisan dan terakhir dengan pengingkaran. Dan jika kita kaji lebih jauh lagi, ketika kita membiarkannya, tanpa respon sedikit pun, tunggulah saatnya Allah akan meratakan siksa tersebut. Laa haula walaa quwwata illa billaah.

Dari Abu Said al-Khudri ra, ia berkata, ’Saya mendengar Rasulullah SAW bersabda, ”Barangsiapa di antara kalian melihat suatu kemungkaran, maka hendaklah dia merubahnya dengan tangannya, jika dia tidak mampu maka dengan lisannya, dan jika dia tidak mampu maka dengan hatinya, dan yang demikian itu adalah iman yang paling lemah.” (Rowahu Muslim)
Dari hudzaifah ra, dari Nabi SAW, beliau bersabda,”Demi Dzat yang jiwaku ditanganNya, sungguh mengajaklah kalian kepada yang ma’ruf dan mencegahlah dari yang mungkar, atau Allah akan segera menimpakan siksa terhadap kalian, kemudian kalian berdoa kepadaNya dan Dia tidak mengabulkannya.” (Rowahu Tirmidzi)
Lho, itu kan kejadian di belahan bumi lain? Kan kita melihatnya secara tidak langsung? Betul. Salahnya adalah kenapa kita melihatnya? Kenapa kita ’memilih’ menyaksikannya? Bukan masalah itu kejadian di negeri antah berantah. Masalahnya, kenapa kita memilih menonton TV dibanding kegiatan yang lainnya.
Jadi, kalau memang tidak bisa meninggalkan sepenuhnya, setidaknya mengurangi. Niat berpaling. Seandainya belum bisa mengurangi, cobalah mengingkari. Jangan sampai kita jatuh pada pilihan terakhir; menyenangi televisi. Ha...@#*&%! Jangan hanya bengong. Yuk kita mulai.

By Fami, Jambi

Celoteh : Esai Kehidupan (2)


Kala susah, ada orang cenderung merasa paling menderita sedunia. Ketika ada yang mau menolong dicurigai. Ada yang empati dicuekin. Ada yang mendekat, disuruh menjauh. Pura – pura nggak butuh. Giliran orang lain cuek, tambah sakit hati. Timbul uneg – uneg jelek. Mangkel, dan terus ngancam dalam hati. Awas ya, nanti kalau saya sudah enak, sejahtera, ganti tak cuekin, bisiknya. Begitu susah ilang, dunia seakan milik sendiri. Tak mau berbagi. Ketika diingatkan, malah nglantur. Biar saja to, wong susah, yo susahku sendiri. Makanya, kalau aku lagi senang, ya biar tak rasakan sendiri. Banyak manusia lupa; hidup itu laksana berputarnya roda (urip koyo ubenge roda). Maka nggak salah kalau kita melihat kembali firman Allah dalam kitabnya; “Dan di antara manusia ada orang yang berkata: "Kami beriman kepada Allah", maka apabila ia disakiti (karena ia beriman) kepada Allah, ia menganggap fitnah manusia itu sebagai azab Allah. Dan sungguh jika datang pertolongan dari Tuhanmu, mereka pasti akan berkata: "Sesungguhnya kami adalah besertamu." Bukankah Allah lebih mengetahui apa yang ada dalam dada semua manusia? (QS al-Ankabut:10)

Itu sindiran yang keras. Pedas. Di ayat lain Allah juga menyitir; “Dan di antara manusia ada orang yang menyembah Allah dengan berada di tepi (keraguan), maka jika ia memperoleh kebajikan, tetaplah ia dalam keadaan itu, dan jika ia ditimpa oleh suatu bencana, berbaliklah ia ke belakang (murtad). Rugilah ia di dunia dan di akhirat. Yang demikian itu adalah kerugian yang nyata.” (QS al-Hajj:11)

Orang – orang dengan model seperti ini, adalah orang yang bermasalah dengan hatinya. Orang yang belum dewasa pemikirannya. Sebab saya teringat ketika umur belasan, seperti itulah kondisinya. Suka nggak terima. Nggak sabaran dan marah – marah sendiri. Padahal intinya caper – cari perhatian. Dari Ibu, Bapak dan saudara – saudara semuanya. Hal itu mengindikasikan ada penyakit di dalam hati. Harus segera diobati. Dihilangkan dengan banyak menyelami dan minum air kehidupan ini. Dan jangan dinyana, masih banyak jumlahnya orang – orang seperti itu di sekitar kita. Karena secara tak sadar, kita sendiri pun bisa termasuk di dalamnya. Kalau sedih seakan kiamat, kalau senang lupa daratan.

Secara sederhana, islam mengajarkan; kala sedih sabar dan istirja, dan kala senang juga sabar tapi harus syukur. Ilmu yang gampang tapi susah dipraktekkan. Ilmu yang simpel, tetapi dalem. Dan perlu waktu yang lama untuk bisa mengaplikasikan dengan benar pada setiap sendi-sendi kehidupan ini. Apalagi bagi kita yang tidak pernah merasa menderita sepanjang hidupnya. Maksudnya, lahir dari keluarga kaya, hidup di lingkungan orang kaya dan selalu berkumpul dengan orang – orang kaya yang selalu tercukupi kebutuhannya. Nlisir, orang bilang. Padahal pada hakikinya semua mengalami pahit – getir, suka – duka dan naik – turun kehidupan ini dengan kadar masing – masing derajatnya. Tak sama antara satu dan lainnya. Atas kuasaNya, tak bisa saling melihatnya. Maka, orang Jawa bilang; urip iku sawang – sinawang. Hidup itu cuma berdasarkan pandangan, yang membujuk. Kita melihat para dokter itu lebih enak daripada jadi guru. Padahal para guru melihat, jadi dokter itu lebih enak. Dan para dokter sendiri bilang, jadi arsitek itu lebih enak, dan sebagainya dan sebagainya. Muter. Mbules. Satu hal yang patut jadi andalan dalam menghadapi kehidupan ini adalah banyak syukur. Dengannya kita bisa menindih hal – hal negative yang lain. Dan salah satu cara mengepolkan syukur adalah mencari jalan syukur, yang berserak di puing – puing kehidupan sekitar kita.


Setelah banyak kemunduran yang ia alami dalam hidupnya itu, seorang teman memutuskan untuk menarik nafas sejenak dan mengikuti tur ke India. Ia mengatakan bahwa di India, ia melihat tepat di depan matanya sendiri bagaimana seorang ibu MEMOTONG tangan kanan anaknya sendiri dengan sebuah golok!! Kita akan bertanya-tanya, kenapa ibu itu begitu tega melakukan hal itu? Apa anaknya itu mencuri, 'so naughty' atau tangannya itu terkena suatu penyakit sampai harus dipotong? Ternyata tidak..!!! Semua itu dilakukan sang ibu hanya agar anaknya dapat..MENGEMIS...!! Ibu itu sengaja menyebabkan anaknya cacat agar dikasihani orang-orang saat mengemis di jalanan nanti! Masya Allah.

Kemudian ketika ia sedang berjalan-jalan sambil memakan sepotong roti, ia tidak sengaja menjatuhkan potongan kecil dari roti yang ia makan itu ke tanah. Dalam sekejap mata, segerombolan anak kira-kira 6 orang anak sudah mengerubungi potongan kecil dari roti yang sudah kotor itu... mereka berebutan untuk memakannya!! Terkejut dengan apa yang baru saja ia alami, kemudian sahabatku itu menyuruh guidenya untuk mengantarkannya ke toko roti terdekat. Ia menemukan 2 toko roti dan kemudian membeli semua roti yang ada di kedua toko itu! Pemilik toko sampai kebingungan, tetapi ia bersedia menjual semua rotinya.

Untuk pertama kali dalam hidupnya, ia mendapatkan imbalan yang sungguh tak ternilai harganya, yaitu kebahagiaan dan rasa hormat dari orang-orang yang kurang beruntung ini!! Ia pun mulai bertanya-tanya pada dirinya sendiri, betapa beruntungnya ia masih mempunyai tubuh yang sempurna, pekerjaan yang baik, juga keluarga yang hangat. Juga untuk setiap kesempatan dimana ia masih dapat berkomentar mana makanan yang enak, mempunyai kesempatan untuk berpakaian rapi, punya begitu banyak hal dimana orang-orang yang ada di hadapannya ini amat kekurangan!!
Sedulur, banyak hal yang sudah kita alami dalam menjalani kehidupan kita selama ini, sudahkah kita berusaha terus mengepolkan syukur ??? Apakah kita hanya banyak mengeluh saja dan selalu merasa tidak puas dengan apa yang sudah kita miliki? Ingatlah; Dan jika kalian bersyukur, niscaya Dia meridhai bagi kalian kesyukuran itu.” (QS az-Zumar:7)

By : Fami, Jambi

Senin, 04 Mei 2009

Celoteh : Esai Kehidupan (1)


Terus terang saya tidak ingat lagi, kapan terakhir saya merasa sedih. Rasanya hidup ini terasa enak terus, senang terus. Mungkin, karena rasa syukur pada Allah yang berlipat – lipat sehingga menutup memori – memori kelam itu. Sakdermo. Nrimo ing pandum. Padahal dalilnya jelas, dalam hidup ini haruslah ada cobaan. Hidup haruslah dengan problematika. Tidak bisa tidak. Ada senang, ada sedih. Ada tawa, ada tangis. Ada sukses, ada gagal. Ada kesulitan, ada kemudahan. Ada kelahiran, ada kematian. Ada siang, ada malam. Dan lain sebagainya, sebagai suatu bentuk pasangan yang telah diciptakan Allah. Itulah garisNya. Dalam hidup ini, juga ada mushibah, pun ada salah. Allah berfirman; “Dan sungguh akan Kami berikan cobaan sungguh kepada kalian, dengan sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa dan buah-buahan. Dan berikanlah berita gembira kepada orang-orang yang sabar. (QS al-Baqoroh 155).
Mungkin baru sedikit penjelajahan dan petualangan hidup ini. Indonesia saja belum diputerin semua. Pulau Jawa pun banyak yang belum dikunjungi. Jangankan Pulau Jawa, wong Kota Pati sebagai pusat pemerintahan Kabupaten Pati, yang tercantum di KTP saya sebagai tempat lahir, belum tuntas saya kunjungi. Kadang saya jadi malu, ketika ngaku orang Pati, tapi nggak tahu Pati. Maaf. Apalagi manca negara. Kemudian berkelahi juga tidak pernah. Tawuran belum punya catatan. Bandel belum pernah merasakan. Maka terkadang pengin merasakan satu per satu pengalaman itu. Namun itu bukan ukuran kualitas hidup seseorang. Sebab kebijaksanaan tidak melulu datang dari hal yang mahal, pelik dan brilian lagi menantang. Bahkan yang paling sederhana pun bisa menjadi hikmah dan guru hidup yang luar biasa, kalaulah bukan yang terbaik. Sebab selama kita masih berpijak pada bumi yang sama, maka kita bisa belajar dan mendengar dari pengalaman orang lain di sekitar kita. Walau tanpa pernah mengalaminya sendiri. Sebab apa yang ada di bumi ini memang diperuntukkan bagi kita semua manusia. Tinggal pinter – pinternya kita mengambilnya. Allah berfirman; “Dia-lah Allah, yang menjadikan segala yang ada di bumi untuk kalian.” (QS al-Baqoroh: 29)

Urusan hidup itu sudah ada yang ngatur. Oleh karena itu jangan suka mengatur hidup. Isilah dengan hal – hal yang bermanfaat saja. Isilah dengan yang baik – baik saja, sebagaimana telah diatur dan diberikan yang Maha Mengatur lewat para utusan, di dalam kitab dan sunnatullahnya. Alam semesta telah banyak memberikan contoh, maka para leluhur nan bijak sering berkata, hiduplah seperti air yang mengalir. Mengasihilah seperti sang surya yang menyinari dunia. Kalau kita berbuat baik Allah senang. Kalau kita berbuat baik, kebaikanlah yang kita temui kembali.

Diceritakan seorang pewarta mewawancari seorang petani untuk mengetahui rahasia di balik sukses buah jagungnya yang selama bertahun-tahun selalu berhasil memenangkan kontes perlombaan hasil pertanian.

“Apa rahasianya Pak? Kenapa buah jagung Bapak selalu menjadi juara?” tanya sang wartawan.

Petani itu menjawab, “Tak ada rahasia. Tak ada resep khusus. Biasa – biasa saja. Sebab setiap musim tanam saya selalu membagi-bagikan bibit jagung terbaik saya pada tetangga-tetangga di sekitar perkebunan saya.”

"Mengapa anda membagi-bagikan bibit jagung terbaik itu pada tetangga-tetangga anda? Bukankah mereka mengikuti kontes ini juga setiap tahunnya?" tanya sang wartawan.

"Anda benar. Tapi tak tahukah anda?," jawab petani itu, "Bahwa angin menerbangkan serbuk sari dari bunga-bunga yang masak dan menebarkannya dari satu ladang ke ladang yang lain. Bila tanaman jagung tetangga saya buruk, maka serbuk sari yang ditebarkan ke ladang saya juga buruk. Ini tentu menurunkan kualitas jagung saya. Bila saya ingin mendapatkan hasil jagung yang baik, saya harus memberikan kepada tetangga saya jagung yang baik juga, sehingga mereka pun mendapatkan jagung yang baik pula."

Begitulah hidup. Mereka yang ingin meraih keberhasilan harus menolong tetangganya menjadi berhasil pula. Mereka yang menginginkan hidup dengan baik harus menolong tetangganya hidup dengan baik pula. Nilai dari hidup kita diukur dari kehidupan-kehidupan yang kita sentuh di sekitar kita. Nggak jauh – jauh.

Allah berfirman; “Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan silih bergantinya malam dan siang terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang berakal.” (QS Ali Imron:190)

Mari terus belajar dan belajar.

Oleh : Faizunal Abdillah