Dalam pencarian sumber riset di indonesia timur untuk sebuah kantor berita luar negeri , saya mulai pada suatu hari Jumat di Kota Makasar, karena saya saat itu [2002] baru mendarati makasar atas penerbangan dari Jakarta dan jam menunjukkan pukul 11.45, saya pun memanggil becak minta diantar ke mesjid terdekat. rupanya sang pengayuh becak juga sedang menuju masjid, “wah mas saya mau jumatan” katanya menolak saya sebagai penumpang, “tapi saya juga mau jumatan, saya sdg mencari mesjid terdekat, kalau begitu kita ke masjid saja bersama-sama”. Tak kuasa menolak, saya pun diangkut abang becak asal pasuruan yang beristrikan bugis itu.
Di perjalanan, sambil mengayuh si abang becak memberitahu saya sesuatu, “saya sholat di masjid tempat pengajian saya mas, jadi agak jauh.” setelah saya bilang bahwa saya ikut saja, saya kemali bertanya saat melintasi sebuah mesjid besar di persimpangan menuju jalan raya cerekang. “Kenapa tidak di sini saja pak, sholat jumatnya?” si Abang becak menjawab, “yang disini khotbahnya pakai bahasa Indonesia, mas. di tempat kami khotbah jadi satu sama sholat, jadi pakai bahasa arab dan tidak boleh seperti ceramah biasa.”
Benar saja, mesjidnya kira-kira 5 menit dari mesjid yang tadi sempat kami lintasi. Kira-kira berukuran 10 x 25 meter persegi, dua lantai, nampak tanpa ada kubah khas masyarakat hindu dan sikh di India, disekelilingnya berderet rumah-rumah petak berlantai dua yang merupakan tempat tinggal mubaligh dan takmir mesjid, serta dua rumah singgah untuk tamu dan sebuah dapur terbuka.
Lagi, abang becak benar, khutbah jumatnya pakai bahasa arab, untung saya sempat ber’inkubasi’ di pesantren, jadi dengan isi khutbah cukup mengerti. luar biasa, pesan perdamaian dari Alqur’an dan hadits2 nabi dipaparkan secara gamblang, sayangnya, yang tahu hanya mereka yang mengaji di masjlis taklim itu atau ornag-orang yang belajar agama Islam dengan baik. berbeda, karena biasanya saya lihat khatib dan imam adalah orang berbeda, ini benar-benar seperti di jazirah arab, khatib sekaligus imam.
Usai sholat jumat saya diperkenalkan oleh abang becak ke bapak kiyai yang menjadi khatib dan imam tadi, umurnya sekitar 32 tahun namun kharismatik dengan tsurban dan jenggot tercukur rapi. “Pak kiyai, mas ini dari Malaysia sedang bertugas disini, baru datang, tadi ikut becak saya.” dan dengan penuh keramahan saya disambut dengan baik, lalu dipanggillah seorang remaja ashabul masjid [penunggu mesjid] yang kemudian saya tahu masih kuliah di sebuah perguruan tinggi negeri, UNM. Pada remaja ini saya dititipkan untuk diantar ke rumah singgah yang dinamai Rumah Sabilillah. Selama tiga hari tiga malam, hidup saya dalam jaminan di rumah sabilillah, bahkan diserahi kunci motor untuk dipakai melancarkan pekerjaan hanya dengan pesan, “hati-hati, semoga barokah.”
Petangnya ketika kembali dari hunting, habis magrib ada kesibukan kecil, tikar dan karpet digelar penuh, lantas meja-meja kecil untuk membaca al qur’an di bariskan, selembar sitrah [kain kelambu] setinggi dada orang dewasa dipasang menyekat membagi dua ruangan masjid. ternyata ada pengajian rutin yang disebut pengajian kelompok.
Acara dalam pengajian tersebut secara berurutan adalah memmbaca alquran oleh seorang muballigh dan disimak oleh seluruh hadirin yang mana-masing-masing juga memegang alqur’an, kira-kira 10 menit. Dilanjutkan kemudian selama kira-kira 20 menit adalah sesi pemaknaan atau tafsir. begitu selesai langsung dilanjutkan dengan kajian hadits [kalau tidak salah saat itu haditsnya ibni Majah], kira-kira 30 menit dengan pengajar muballigh lain lagi, masih muda kira-kira umur 18 tahun tapi luar biasa, cemerlang.
Selesai hadits, adalah sesi nasihat, tidak hanya kiyai yang nasihat, tapi bisa siapa saja yag ditunjuk oleh kiyai [ini pembelajaran yg bagus untuk menjadi pembiacar publik]. “Deg!” rupanya si abang becak tadi yang kali ini dapat giliran memberikan tausyiah.
Si abang becak mulai berpidato setelah salam dan memberikan kata pengantar, “…kita sebagai warga negara Indonesia dinasihati untuk selalu tunduk dan patuh pada pemerintah yang sah berdasarkan pancasila dan UUD 1945….dst. yang saya lihat ada nuansa nasionalisme disini. kemudian disambung panjang lebar dengan berbagai nasihat perdamaian dan pembinaan kerukunan dengan dalil-dalil sangat pas. [saya bertanya-tanya, kalau tukang becaknya saja seperti ini bagaimana dengan kiyainya ya?]
Yang tak kalah menariknya buat saya, sepanjang pengajian ini saya melihat sebentar-sebentar ada yang melempar uang sodaqah ke depan dimana agak lapang, ada juga yang ketika berdiri pulang meninggalkan uang ditempat duduknya, dan nggak ada yang iseng ngantongin! padahal mulai dari pecahan 1000an sampai 50 ribuan ada lho. abang becak bilang, ini untuk mendanai kegiatan rutin berupa pengajian yang seminggu berlangsung 4 kali. jadi tidak ada iuran wajib yang memberatkan, tapi siapa saja ingin sodaqah silahkan.
Dan mesjid yang cukup megah untuk ukuran mesjid2 disekitar itu, ternyata juga dibiayai bersama-sama para jemaat pengajian. ‘kita tidak boleh mengemis di pinggir jalan mas. malah kalau disini tidak ada lapangan beramal solih, mereka pada mencari dimana sedang ada pembangunan masjid, ikut menyumbang,
atau membangun jalan kampung…ya pokoknya hidup itu untuk ibadah mas.’
Saya terngiang nasihat abang becak, “barang siapa membangun mesjid di dunia maka Tuhan membangunkan sebuah gedung megah di akhirat.”
Lantas pada hari keempat, dengan penuh kesan saya pun pamit melanjutkan ekspedisi ke papua. tak dinyana, pak kiyai masih juga tidak mau melepas saya, “bawa alamat dan nomer telepon ini, setelah sampai bandara ditelpon saja biar dijemput,” dan sebagaimana pesannya, nomer HP yang diberikan saya panggil dari bandara Sentani, sebuah salam menyapa dari seberang. “Oh, mas mahar ya, tadi saya dapat kabar dari makasar dan sekarang saya sudah dekat dengan bandara, mas tunggu saja disitu, lima menit lagi saya sampai.”
Muda, kira-kira berumur 30 tahun, seorang supervisor di perusahaan consumer good, asal medan. “jangan sungkan, anggap saja dikampung sediri, kita semua keluarga, kalau butuh kemana-mana saya antar atau kalau mau pakai kendaraan sebaiknya jangan sendiri, selain bensin disini langka dan mahal, tradisi disini berbeda, nabrak ayam saja belum cukup motornya buat nebus.”
Rupanya saya dibawa ke Bucend II, sebuah komplek cukup wah dengan masjid ditengah2nya membuat saya serasa di kampus IIU. masjidnya penuh dengan kitab-kitab di rak yang tertata rapi. dan saya baru tahu dari sebuah plang yang ada didepan komplek [yang di makasar tidak ada papan nama]. ternyata saya dijamu oleh warga Lembaga Dakwah Islam Indonesia [LDII] yang selama ini dianggap sesat, tapi saya yang tidak dikenal pun dijamu seperti keluarga, katanya mereka wajib menjamu saya karena saya adalah ibnusabil [bukan maksudnya anak jalanan, tapi seorang yang dalam perjalanan].
Enam tahun berlalu, dan saya sekarang di Jakarta, ada khabar dari teman-teman di wilayah persekutuan, serawak dan terakhir sebuah SMS dari pudu, kalau pembelajaran agama islam di malaysia, banyak yang sudah memakai kurikulum LDII. padahal setahu saya, awal 2000an, sebuah masjid di distrik Banting [ kalau tidak salah dekat dengan tanah genting] dibakar oleh orang-orang Indonesia yang tak jarang merupakan pendatang haram, dan mereka terprovokasi oleh penerbitan buku ormas-ormas islam yang tidak suka dengan LDII.
Saya jadi berpikir, kenapa dalam sekian lama LDII dibakar dan serang masjidnya tapi kok tetap bertahan bahkan semakin berkembang ke seluruh dunia? Sdr. Syaiful yang sampai sekarang jadi kontak saya di Papua, mengatakan itulah kebenaran, kalau tidak ada gangguan justru diragukan apakah yang dijalankan sudah benar. terus kalau diserang kok membalas, jangan-jangan malah lebih buruk dari yang menyerang, “kita doakan saja semoga mendapat petunjuk agar selamat dunia dan akhirat,” lanjutnya, kalau ustad jalan ditengah gerombolan pemabuk kok tidak diganggu, jangan-jangan karena ustadnya juga sedang mabok…
Kadang, sikap yang dikembangkan ini menginspirasi saya…begitulah.
Oleh: Mahar_FGD
Tidak ada komentar:
Posting Komentar